Qoni’a bagiku bisa diibaratkan
seorang bayi yang dilahirkan oleh 4 orang bunda sekaligus. Tak lazim memang,
tapi untuk sebuah pengibaratan apa salahnya. Masih teringat jelas memori masa
itu, ketika kita berjuang bersama untuk melahirkan Qoni’a sang bayi. Kerempongan
demi kerempongan kita lakukan, bahkan ambisi dan idealisme itu semakin menggebu
ketika perdebatan sengit diantara kita terjadi. Bunda leader yang strukturalis,
bunda kreatif yang perfeksionis, bunda teknisi yang menjadi katalis, dan entah
aku bagian apa, mungkin komporis yang semakin menambah panas perdebatan. Dan
akhirnya Qoni’a pun lahir di tengah-tengah kita. Aku yakin tak ada satupun
diantara kita yang menyadari hari, tanggal dan pukul berapa secara resmi Qoni’a
lahir di dunia ini, karena memang tak ada dokter, bidan, atau dukun bayi yang
membantu proses kelahirannya. Ujug-ujug mak bedunduk langsung dibancai.
Menjadi seorang bunda yang harus
mengasuh bayi ternyata susah-susah gampang, apalagi pada pengalaman pertama
seperti yang kita alami. Meskipun bayinya cuma satu dan bundanya ada empat,
kerempongan demi kerempongan masih saja hinggap pada masa pengasuhan Qoni’a.
Kita mempunyai cita-cita yang sama, yaitu bagaimana caranya agar Qoni’a sang bayi yang
baru lahir itu bisa tumbuh dan berkembang dengan baik di masyarakat. Malam
menjadi saksi diskusi-diskusi panjang yang kita lakukan, siang menjadi kamera
perekam perjalanan kita mengenalkan sang bayi kepada masyarakat. Akan tetapi
apa mau dikata, pertumbuhan Qoni’a terlalu lambat, bahkan dia butuh penanganan
yang lebih intensif dari bunda-bundanya. Padahal bundanya adalah orang-orang
rempong semua. Kita selalu berusaha bersama demi Qoni’a, karena kebersamaan itu
semangat kita selalu terbakar. Sampai pada suatu masa stock bahan bakar untuk
membakar semangat itu limit dan mengalami kelangkaan. Dan hal itu berakibat
kurang baik pada Qoni’a. Kelangkaan bahan bakar itu menurunkan semangat kita,
perhatian dan kasih sayang yang seharusnya Qoni’a dapatkan dari bunda-bundanya berkurang.
Jiwa keibuan dan kesabaran kita di uji dengan situasi yang kurang mendukung
ini. Tak ada maksud sedikitpun untuk menelantarkan Qoni’a yang baru lahir itu
begitu saja, tetapi faktalah yang berkata. Kita ternyata belum layak menjadi
bunda yang baik untuk Qoni’a, perhatian kita yang seharusnya untuk Qoni’a
teralihkan dengan kesibukan masing-masing. Qoni’a pun hanya tinggal nama.
Rasa memang tak pernah bohong,
apalagi rasa sayang seorang bunda pada anaknya. Kenangan bersama Qoni’a tak
pernah lekang oleh waktu. Kita tidak pernah tahu rencana apa yang Tuhan
takdirkan untuk kita, cita-cita dan do’a yang selalu kita sampaikan padaNya pada
waktu yang tepat pasti diijabah, meski harus diuji dulu dengan situasi-situasi
yang kurang mengenakkan hati. Dengan Izin Allah tepat tanggal 10 Agustus 2014
lahirlah bayi Qoni’a di Jepara. Kelahiran yang sudah direncanakan, kuselisihkan
sehari dengan ulang tahun adikku supaya lebih mudah mengingatnya. Nama dan
cita-cita itu masih seperti Qoni’a bayi kita bersama. Disaat teman-teman
sebayaku sudah berbahagia menimang bayinya, aku pun juga bisa berbahagia dengan
menimang-nimang bayiku yaitu Qoni’a. Perhatian dan kasih sayang kufokuskan
padanya. Aku dibantu beberapa keluarga dan teman yang ada di Jepara berusaha
untuk menjadikan Qoni’a sosok yang baik di masyarakat Jepara. Ide, masukan dan
saran semuanya kutampung dalam wadah yang sangat besar untuk selanjutnya
kusortir dengan meminta pertimbangan orang-orang spesial.
Aku dan Qoni’a yang masih bayi
itu sama-sama baru mempelajari masyarakat disekiling.Tentang sosio culture,
pola hidup, kebiasaan, norma dan segala tetek bengek yang ada disini. Tak mudah
memang hidup di antara masyarakat yang heterogen, tapi mau tidak mau harus
dijalani karena itu adalah proses. Berkat dukungan dan bantuan keluarga dan
teman-teman, kini Qoni’a sedikit demi sedikit dikenal masyarakat, meskipun
masih dalam lingkup yang sangat kecil. Tak ada kemewahan, fasilitas juga masih
pas-pasan, semua terbalut dalam kesederhanaan. Kita berharap, Qoni’a bisa
tumbuh dan berkembang dengan baik, mampu memberi manfaat dan warna yang lebih
indah di masyarakat Jepara. Meskipun baru lahir Qoni’a harus bisa mandiri dan
berpegang teguh dengan apa yang menjadi prinsip hidupnya “’Aza man Qoni’” (terima
ing pandum). Sehingga aku sebagai bundanya tidak harus selalu bersama
didekatnya, karena aku sadar pada masanya nanti seorang wanita harus mengikuti
suami sebagai wujud pengabdian dirinya pada Allah SWT. Mulai sekarang sudah
kubiasakan dia dengan orang-orang terdekat yang akan mengasuhnya ketika diriku
secara fisik tak bersamanya.
Untuk para bundanya Qoni’a yang
tidak lain adalah sahabat sekaligus guru-guruku, mohon do’anya untuk
pertumbuhan Qoni’a Jepara semoga Allah ridlo dan memberkahinya. Ditunggu
kedatangannya untuk sekadar foto bareng atau bancaan nampanan. Tak perlu repot
membawa bingkisan macam-macam, kalo ada buku-buku pelajaran yang masih layak
digunakan Qoni’a Jepara sangat berbahagia menerimanya. Dan yang tak kalah
pentingnya Qoni’a Jepara menunggu kelahiran saudara-saudaranya di luar kota,
meskipun dengan jalur yang berbeda. Supaya jalinan silaturahim kita semakin
erat dengan Qoni’a. (Dian Afri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar