Tulip

Tulip

Sabtu, 30 Agustus 2014

‘Aza Man Qoni’

“InsyaAllah mbak, besok pagi saya akan berangkat dari rumah” jawabku via telepon pada seseorang di seberang sana. Foto kami masih tergantung di dinding kamar ruang kerjaku, berjajar dengan foto pernikahanku. Empat gadis muda yang tersenyum manis dengan gayanya sendiri-sendiri. Senyum yang selalu terkenang dan selalu mengesankan, bisik hatiku.
Seperti mengorek kembali masa lalu, ketika masih bersuka ria dengan dunia Mahasiswa. Ketika kami sama-sama merenda mimpi dan memperjuangkan cita, cinta dan idealisme. Ketika saling memantapkan hati menghadapi kegalauan-kegalauan yang silih berganti, bahkan kegalauan yang bersamaan menimpa kami. Dan ketika akhirnya kami harus menempatkan hati dan memposisikan diri mengikuti takdir Illahi.
Entah sejak kapan istilah rempong itu melekat pada kami. Entah siapa pula yang memberikan sebutan itu pertama kali.
“merah aja  ya”
“hijau aja mil, biar seger diliatnya”
“kalau hijau ya kagak panteslah mak, mending warna yang agak soft aja deh”
Perdebatan kami tak berujung pada sebuah keputusan final. Padahal hanya menentukan warna pada logo yang sedang dalam proses pembuatan. Warna-warna itupun hanya berdasar selera kami saja, bodo amat dengan makna filosofisnya, yang penting ada bentuk dan rupanya dulu baru dimaknai. Pembuatan logo itu diserahkan pada yu Mil. Yu Mil adalah teknisi kami, dia jagonya otak-atik komputer, apapun bisa diselesaikan kalo diserahkan padanya dan hasilnyapun maksimal tidak akan mengecewakan. Satu lagi yang khas dari yu Mil adalah kerendahan hatinya, tak pernah sedikitpun menonjolkan kemampuannya. Layar laptop yu Mil sudah menyala berjam-jam menunggu keputusan dari kami, merah, hijau atau ada pilihan yang lain.
Malam sudah larut, tak ada lagi kebisingan-kebisingan suara manusia selain kami berempat. Semua mata sudah terpejam, terlelap dalam pekat malam yang mendamaikan. Tetapi kedamaian itu belum berlaku pada kami, orang-orang yang selalu ingin sebuah kesempurnaan, dengan ego dan imajinasi yang tersembunyi dibalik tempurung kepalanya masing-masing. Tiga kali bunyi jam dinding berdentang, pertanda sebuah keputusan sudah harus ada untuk menyelesaikan sebuah logo, hanya sebuah logo.
“ya udah mil, buat aja sepantesnya, kalau harus menyatukan pendapat kita, kagak bakal jadi deadline malam ini.” Mbak Wir yang sedari tadi diam menengahi debat warna antara aku, yu Mil dan Mak El. Bagi kami Mbak Wir adalah seorang  perempuan tulen yang selalu tampil anggun dan feminin, tetapi tidak masuk tipe perempuan lemah dan cengeng. Secara aklamasi kamipun mengiyakan usul Mbak Wir yang lemah lembut itu.
Pada sepertiga malam itulah logo sebuah bimbingan belajar terbentuk. Qoni’a Course, nama yang cukup simple memang untuk sebuah lembaga bimbingan belajar. Nama yang belum bisa disejajarkan dengan bimbel-bimbel mentereng yang sudah bercabang di banyak kota. Qoni’a sendiri mengandung filosofis yang dalam, terinspirasi dari ngendikane abah Yai kami ketika ngaji ‘aza man Qoni’ yang arti jawanya adalah terimo ing pandum (menerima apa yang menjadi bagiannya). Sering orang berkata, nama adalah do’a, begitu pula dengan Qoni’a. Dengan nama itu semoga kami bisa mengontrol ego dan ambisiusme yang sering kali tak terkendali, atau bisa diistilahkan mengontol nafsu dan logika kami. Supaya kami juga bisa menjadi orang-orang yang senantiasa bersyukur dengan apa yang menjadi bagian kami dalam hidup. Termasuk bersyukur atas mimpi, cita dan cinta kami.
“Malam ini kita cukupkan sekian rapat Qoni’anya, alhamdulillah setidaknya sudah ada hasil sebuah logo untuk bimbel kita. Semoga logo ini bisa menjadi sarana awal perjuangan kita menumbuhkan  Qoni’a.”  Kata penutup dari Mak Ela, sosok yang menjadi ketua  rintisan bimbel ini. Mantan lurah pondok yang semakin mantap jiwa kepemimpinannya setelah berakhir masa baktinya. Istilah dari Mbak Wir, Mak El adalah tipe strukturalis1.
Keberhasilan itu memang butuh perjuangan panjang, dan sangat mahal nilainya. Lebih mahal dari segunung emas. Waktu dan jarak mau tidak mau harus memisahkan kami. Belum pula Qoni’a bisa berjalan, kami harus bubar jalan tidak bisa bersama-sama lagi. Berpisah satu sama lain mengikuti suratan Tuhan untuk diri masing-masing. Qoni’a baru sebuah logo ketika kami harus meninggalkannya. Membiarkannya tergantung tanpa campur tangan kami lagi. Sikon belum memungkinkannya untuk tumbuh apalagi berkembang.
Perbincangan kami terputus, kerempongan nyata kami terhenti. Rintisan kami mendirikan sebuah lembaga bimbingan belajar Qoni’a Course kini hanya tinggal sejarah, sejarah yang telah terekam oleh malam-malam sunyi. Kini malam itupun benar-benar menjadi malam-malam sunyi bagi kami. Dalam sendiri, tanpa diskusi-diskusi tentang mimpi, planing masa depan, cita dan cinta kami, dan yang paling utama adalah mimpi membesarkan Qoni’a bersama-sama. Kenangan yang selalu kuingat tentang kami adalah kebiasaan merencanakan segala sesuatu selalu berantakan, tetapi ada banyak hal yang kami lakuakan tanpa perencanaan menjadi berhasil.
“Bundaaa, maenan adek mana?” suara cadel itu mengembalikanku pada duniaku sekarang.
“oh iya adek, bentar ya bunda ambilkan,” kataku sambil menuntunnya keluar kamar kerjaku.
Keputusan untuk meniti karir di rumah memang mendilemakan awalnya. Secara pribadi, jiwaku adalah jiwa sosial yang senang berinteraksi dengan banyak orang. Beruntung, suamiku mengerti diriku sepenuhnya, termasuk impian-impianku. Meski bekerja di rumah tak menghalangiku untuk tetap berkarya dan mengamalkan ilmu. Selang setahun setelah menikah berdirilah sebuah yayasan bernama el-Qoni’, pesantren wirausaha yang didalamnya juga bernaung Qoni’a Course. Pesantren Wirausaha pertama di kota solo. Terletak di pinggiran kota Solo dekat dengan pegunungan, yang jauh dari hirur pikuknya keramaian kota. Dan persis disamping pesantren itulah letak istana keluargaku, tempat kami bernaung.
Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menahan sebuah kerinduan. Esok pagi adalah hari spesial buat kami yang akan dipertemukan kembali. Bandara Soekarno-Hatta akan menjadi bagian sejarah kerempongan kami. Aku dari Solo, Mak Ela dari Bandar Lampung, Yu Mil dari Kediri dan Mbak Wir sebagai tuan rumah sudah mengurusi keperluan keberangkatan kami, termasuk tiket pesawatnya. Karena Mbak Wir ikut suaminya menetap di Tangerang.
Interaksi yang selama ini hanya melalui HP dan Social Media, akhirnya berujung pada pertemuan. Tidak  lagi memepertemukan empat orang saja, tetapi empat keluarga kecil. Entah bagaimana awalnya, Allah sudah mengatur segalanya. Masing-masing dari kami mendapat kesempatan terbang ke Belanda dalam tenggang waktu yang sama. Yu Mil dan suaminya yang sama-sama dosen akan mengikuti seminar Internasional yang di selenggarakan oleh salah satu Universitas terkemuka di Belanda, sebagai delegasi dari kampus tempatnya mengajar. Mbak Wir yang memiliki selera unik terhadap banyak hal dan suka banget dengan bunga tulip mendapatkan tiket ke Belanda untuk mewakili Indonesia dalam rangka lomba fotografi and the best quote yang bertema Tulip. Mak Ela yang sukses dengan wirausahanya bersama suami terbang ke Belanda dalam rangka pengembangan bisnis.
Bagiku, semua ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Aku bisa berkunjung ke negeri kincir angin itu akhirnya. Bukan menikmatinya sendiri, tetapi bersama keluargaku dan sahabat-sahabat rempongku yang telah banyak memberi warna dalam kanvas hidupku. Subhanallah, skenario Allah begitu indah buat kami. Ana uridu, anta turidu, wallahu yaf’alu ma yuridu.

Tangerang,17022014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar