Tulip

Tulip

Minggu, 09 November 2014

Intinya hanya Dua Kata

Ada suatu masa ketika seorang manusia harus menghadapi ujian kualitas hidupnya. Allah Maha Rahman dan Rahim, betapa sayangnya Dia kepada setiap makhlukNYA. 

DIA tak pernah melewatkan sedetikpun untuk memperhatikan tingkah polah kita. Dan Dia pulalah yang tak membiarkan hamba-hambaNya jauh dari rahmatNya. Ribuan kali, bahkan milyaran kali ucapan syukur itu kupanjatkan tak akan pernah mampu menandingi segala nikmat yang dilimpahkanNya.

Aku memang belum mengerti betul bagaimana mekanisme kerja Allah dalam mengatur jagad raya ini, termasuk menentukan segala hal ihwal yang terjadi pada manusia. Dalam diam aku belajar, mencoba memahami segala sesutau yang telah ada dari beberapa hal yang kualami sendiri, dan belajar kukaitkan sedikit-sedikit dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang kuketahui maknanya.

Janji Allah tidak pernah teringkari, semuanya terbukti. Apa yang di FirmankanNya dalam Al-Qur’an semakin nyata dalam kehidupan ini.

Sejatinya seluruh alur kehidupan manusia adalah nikmat yang sempurna. Adakalanya nikmat itu berwujud nikmat sesungguhnya, yang identik dengan kebahagian, kekayaan, dan hal-hal yang menyenangkan. Tetapi adakalanya pula nikmat itu berwujud dalam ujian, musibah, kemelaratan dan hal-hal yang secara kasat mata adalah penderitaan. 

Perlu digaris bawahi disini bahwa semua itu adalah nikmat, karunia Allah yang tiada tara tergantung bagaimana kita menyikapinya. Tak ada jaminan orang kaya bahagia, atau orang miskin hidupnya sengsara. Tak ada yang menjamin pula orang sehat lebih banyak amalnya dari pada orang sakit. Kembali lagi semua itu tergantung individu masing-masing.

Aku mencoba mengurai kisahku sendiri, tentang perjalanan hati yang bagiku memang sebuah ujian paling berat dalam hidupku sampai hari ini. Tawa, tangis itu benar-benar saling beriringan silih berganti. Dia tak membiarkanku terlalu lama dalam tawa yang ternyata setelah kuanalisa kondisi tersebut acapkali membuatku terlena dan jauh dariNYa. 

Ada sebuah ayat di salah satu surat dalam juz 30 yang aku lupa bunyinya, pada intinya menjelaskan bahwa tawa dan tangis itu adalah dari sisi Allah ta’ala. Sekali, duakali aku tak terlalu ngeh dengan ayat tersebut. Tetapi dengan rentetan kejadian yang menimpaku beberapa kali dan renungan-renungan panjang yang kulakukan dalam diam, ternyata begitulah benarnya. Tangis demi tangis itu sebenarnya bukanlah hal yang perlu diratapi. 

Pola yang terjadi padaku sebagai manusia awam adalah ketika tawa itu menyapa aku akan mudah terlena dan melupakanNya, tetapi ketika tangis itu kembali menghampiri, jiwa ragaku tetap akan menuju padaNya berkeluh kesah dengan semua hal yang terjadi dalam tangis itu. Memohon kekuatan untuk menjalaninya. 

Asal tahu saja, Allah selalu mempunyai rencana indah dari segala hal yang kita anggap derita. Keistimewaan terletk pada tawa setelah tangis, tawa itu pasti lebih terasa feelnya. Dan grade feel itu juga tergantung dari grade tangis yang kita hadapi dan dari cara kita melewatinya.

Ketika kita mengalami suatu masa dengan kondisi tangis, orang yang mengetahui itu pasti menasihati kita untuk bersabar. “Sabar ya” itulah kalimat yang sudah sangat familier sekali di telingaku akhir-akhir ini. Kata Sabar memang gampang diucapkan, tetapi mengaplikasikan sabar dalam menghadapi tangis itu tak semudah ketika lidah mengucapkan. 

Menurutku sabar itu bagai langit, yang tak ditemukan dimana ujung dan tepinya. Sabar itu tak mengenal batas, istilah “sabar ada batasnya” bukanlah sabar namanya. Sabar itu juga bukan pesimis, yang hanya pasrah pada keadaan. Sabar itu menuntut untuk selalu optimis, berkhusnudzon dengan hari esok. Karena Allah sudah menjamin kesabaran itu akan berbuah manis. 

Jangan pernah menanyakan sampai mana batas kesabaran atau bahkan kapan buah sabar itu akan ada. Yang perlu kita lakukan adalah merawat kesabaran yang kita punya dengan ikhlas. Dan akhirnya sabarlah yang akan mendatangkan sebuah keikhlasan. Sabar dan ikhlas, kunci utama dalam menjalani kehidupan ini. 

Ketika kedua hal tersebut sudah mendarah daging dan menulang sumsum tak ada lagi yang namanya tangis dalam derita, tangis itu pun akan menjadi tawa bahagia.

Apapun yang terjadi, ketika hati bisa mensyukuri, dengan sabar dan ikhlas menjalaninya, semua itu akan nampak indah dirasakan. Bukan lagi karena apa-apa dan siapa-siapa, tetapi karena Dia yang Maha Sempurna. Kebahagian sejati adalah kondisi ketika hati merasa tentram dan nyaman dalam dekap keridloaanNya. 

(Jepara, 16102014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar